BAGAIMANAKAH SIKAP KITA KEPADA "AHLUL BAIT" YANG TIDAK MENGIKUTI JALAN PARA DATUKNYA.
BAGAIMANAKAH SIKAP KITA KEPADA "AHLUL BAIT" YANG TIDAK MENGIKUTI JALAN PARA DATUKNYA.
Dalam kitab "al-Fushul al-Ilmiyah" halaman 87, al-Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad berkata:
“Barangsiapa yang mengatakan (berpendapat) atau menyangka bahwa meninggalkan ketaatan-ketaatan dan memperbuat maksiat-maksiat tidak merugikan seseorang karena nasabnya yang mulia atau karena kebaikan orangtua-orangtuanya (leluhurnya), berarti ia telah membuat kedustaan terhadap Allah dan menyalahi ijma’ kaum Muslimin.
Namun, Ahlul Bait Rasulullah memang memiliki kemuliaan dan Rasulullah Saw. memberikan perhatian yang lebih terhadap mereka. Beliau Saw. banyak berpesan kepada umatnya tentang mereka (Ahlul Bait) dan mendorong mereka (ummatnya) agar mencintai dan menyayangi Ahlul Bait. Itu pula yang Allah perintahkan dalam kitabNya dengan firmanNya:
“Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang terhadap keluarga(ku).” (QS. asy-Syura ayat 23).
Karena itu, hendaknya sekalian Muslimin agar meyakini (berpegang) dengan kecintaan terhadap mereka dan kasih sayang terhadap mereka, dan hendaknya menghormati dan mengagungkan mereka dengan tidak berlebihan dan keterlaluan. Kemudian, barangsiapa diantara para sayyid itu yang mengikuti perjalanan para pendahulu mereka yang shalih dan meneladani thariqah-thariqah mereka yang diridhai, berarti ia seorang imam yang cahaya-cahayanya patut untuk diambil petunjuk dan perilaku-perilakunya patut untuk diikuti sebagaimana para datuk mereka yang mendapatkan petunjuk.
Adapun orang-orang diantara Ahlul Bait yang tidak mengikuti thariqah-thariqah para pendahulu mereka yang suci dan telah dimasuki oleh suatu percampuran (dalam pemikiran maupun perbuatan) karena kebodohan yang menguasai mereka, maka mereka tetap harus dihormati karena kekerabatan mereka dengan Rasulullah. Dan hendaknya orang-orang yang memiliki kemampuan untuk memberikan nasihat, hendaknya menasihati mereka dan mendorong mereka untuk mengambil apa yang telah diambil oleh para pendahulu mereka yang shalih, baik dalam ilmu, amal shalih, maupun akhlak yang baik dan disukai.
Juga memberitahukan kepada mereka bahwa mereka lebih layak untuk itu dan lebih berhak (lebih wajib) untuk melakukannya dibandingkan semua orang yang lain, dan bahwa nasab ini tak akan bermanfaat dan tak akan meninggikan derajat mereka jika menyia-nyiakan ketakwaan, lebih mempedulikan dunia, meninggalkan ketaatan, dan mengotori diri dengan kotoran penyimpangan-penyimpangan."
Kemudian al-Habib Abdullah al-Haddad mengatakan lagi:
“Pembicaraan tentang anak-anak orang shalih sama dengan pembicaraan tentang Ahlul Bait. Dalam arti orang yang keadaannya seperti keadaan pendahulunya, maka ia juga orang shalih seperti mereka yang patut untuk diagungkan dan diambil berkahnya.
Sedangkan orang yang keadaannya jahil dan lalai, maka hendaknya ia dinasihati dan diberi petunjuk kepada kebenaran, dan tetap dihormati sekadarnya karena memandang para pendahulunya yang shalih. Bagaimana tidak, sedangkan Allah Swt. telah berfirman mengenai dua orang anak dan tentang dinding rumah:
“Dan di bawah dinding ada harta simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih.” (QS. al-Kahfi ayat 82).
Dan telah sampai keterangan kepada kami bahwa yang dimaksud orangtuanya itu adalah ayah yang ketujuh dari jalur ibu. Maka ia dapat memelihara anaknya itu dalam urusan dunia, apalagi dalam urusan akhirat.
Ketahuilah dan pahamilah hal itu, dan letakkanlah sesuatu pada tempatnya dan berikanlah kepada setiap yang memiliki hak akan haknya. Dan mohonlah pertolongan kepada Allah, niscaya engkau bahagia dan mendapatkan petunjuk."
__________________________
Demikian keterangan dari kitab al-Fushul al-Ilmiyyah, semoga bermanfaat terutama bagi kita yang memiliki kemampuan untuk memberikan nasihat..
❤❤1030-28❤❤
Dalam kitab "al-Fushul al-Ilmiyah" halaman 87, al-Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad berkata:
“Barangsiapa yang mengatakan (berpendapat) atau menyangka bahwa meninggalkan ketaatan-ketaatan dan memperbuat maksiat-maksiat tidak merugikan seseorang karena nasabnya yang mulia atau karena kebaikan orangtua-orangtuanya (leluhurnya), berarti ia telah membuat kedustaan terhadap Allah dan menyalahi ijma’ kaum Muslimin.
Namun, Ahlul Bait Rasulullah memang memiliki kemuliaan dan Rasulullah Saw. memberikan perhatian yang lebih terhadap mereka. Beliau Saw. banyak berpesan kepada umatnya tentang mereka (Ahlul Bait) dan mendorong mereka (ummatnya) agar mencintai dan menyayangi Ahlul Bait. Itu pula yang Allah perintahkan dalam kitabNya dengan firmanNya:
“Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang terhadap keluarga(ku).” (QS. asy-Syura ayat 23).
Karena itu, hendaknya sekalian Muslimin agar meyakini (berpegang) dengan kecintaan terhadap mereka dan kasih sayang terhadap mereka, dan hendaknya menghormati dan mengagungkan mereka dengan tidak berlebihan dan keterlaluan. Kemudian, barangsiapa diantara para sayyid itu yang mengikuti perjalanan para pendahulu mereka yang shalih dan meneladani thariqah-thariqah mereka yang diridhai, berarti ia seorang imam yang cahaya-cahayanya patut untuk diambil petunjuk dan perilaku-perilakunya patut untuk diikuti sebagaimana para datuk mereka yang mendapatkan petunjuk.
Adapun orang-orang diantara Ahlul Bait yang tidak mengikuti thariqah-thariqah para pendahulu mereka yang suci dan telah dimasuki oleh suatu percampuran (dalam pemikiran maupun perbuatan) karena kebodohan yang menguasai mereka, maka mereka tetap harus dihormati karena kekerabatan mereka dengan Rasulullah. Dan hendaknya orang-orang yang memiliki kemampuan untuk memberikan nasihat, hendaknya menasihati mereka dan mendorong mereka untuk mengambil apa yang telah diambil oleh para pendahulu mereka yang shalih, baik dalam ilmu, amal shalih, maupun akhlak yang baik dan disukai.
Juga memberitahukan kepada mereka bahwa mereka lebih layak untuk itu dan lebih berhak (lebih wajib) untuk melakukannya dibandingkan semua orang yang lain, dan bahwa nasab ini tak akan bermanfaat dan tak akan meninggikan derajat mereka jika menyia-nyiakan ketakwaan, lebih mempedulikan dunia, meninggalkan ketaatan, dan mengotori diri dengan kotoran penyimpangan-penyimpangan."
Kemudian al-Habib Abdullah al-Haddad mengatakan lagi:
“Pembicaraan tentang anak-anak orang shalih sama dengan pembicaraan tentang Ahlul Bait. Dalam arti orang yang keadaannya seperti keadaan pendahulunya, maka ia juga orang shalih seperti mereka yang patut untuk diagungkan dan diambil berkahnya.
Sedangkan orang yang keadaannya jahil dan lalai, maka hendaknya ia dinasihati dan diberi petunjuk kepada kebenaran, dan tetap dihormati sekadarnya karena memandang para pendahulunya yang shalih. Bagaimana tidak, sedangkan Allah Swt. telah berfirman mengenai dua orang anak dan tentang dinding rumah:
“Dan di bawah dinding ada harta simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih.” (QS. al-Kahfi ayat 82).
Dan telah sampai keterangan kepada kami bahwa yang dimaksud orangtuanya itu adalah ayah yang ketujuh dari jalur ibu. Maka ia dapat memelihara anaknya itu dalam urusan dunia, apalagi dalam urusan akhirat.
Ketahuilah dan pahamilah hal itu, dan letakkanlah sesuatu pada tempatnya dan berikanlah kepada setiap yang memiliki hak akan haknya. Dan mohonlah pertolongan kepada Allah, niscaya engkau bahagia dan mendapatkan petunjuk."
__________________________
Demikian keterangan dari kitab al-Fushul al-Ilmiyyah, semoga bermanfaat terutama bagi kita yang memiliki kemampuan untuk memberikan nasihat..
❤❤1030-28❤❤
Comments
Post a Comment