“MERAH PUTIH DIDADA PARA KIAI DAN HABAIB ADALAH FAKTA BUKAN SEKEDAR CERITA.”

“MERAH PUTIH DIDADA PARA KIAI DAN HABAIB ADALAH FAKTA BUKAN SEKEDAR CERITA.”




(Melawan lupa)
Silahkan disebar/share seluas luasnya agar rakyat dan para pemimpin kita tidak mudah lupa akan jasa besar para pejuang dan pendahulunya.
—————————–

17 Agustus adalah hari yang “keramat” bagi bangsa Indonesia. Di hari itu bangsa Indonesia merayakan kemerdekaan yang diraih 68 tahun silam. Tentu bukan soal mudah merebut kemerdekaan. Dibutuhkan perjuangan panjang yang memakan ribuan bahkan jutaan korban jiwa. Dalam usaha panjang itu, muncullah sejumlah tokoh pahlawan perjuangan. Ada fakta yang menarik untuk diketahui bahwasanya di antara nama-nama para pahlawan itu banyak yang merupakan figur-figur keturunan Arab.

Kita tentu mengenal Tuanku Imam Bonjol, pemimpin yang gigih memimpin rakyat Minangkabau mengusir penjajah. Tapi tahukah kita siapakah sebenarnya pahlawan nasional yang satu ini? Nama aslinya adalah Sayid Muhammad bin Shahab. Selain tokoh perjuangan, sosok berdarah Hadrami (keturunan Hadramaut, Yaman Selatan) ini adalah tokoh pergerakan Islam. Imam Bonjol melakukan perubahan besar di ranah Minangkabau. Dalam buku berjudul Pergerakan Pemikiran Islam di Minangkabau, Masoed Abidin bin Zainal Abidin Jabbar menyebut Tuanku Imam Bonjol sebagai tokoh pembaharu Islam.

Pada masa itu daerah Bonjol menjadi pusat peradaban Islam sekaligus perdagangan di Minangkabau. Lantaran gesekan yang kuat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat, perang saudara pun tidak terelakkan. Seiring berjalannya waktu, perang saudara ini melibatkan Belanda. Pada 1820, Imam Bonjol tampil sebagai pemimpin mutlak setelah Tuanku Nan Renceh wafat. Perlawanan yang dikomandani Imam Bonjol mendapat simpati seluruh rakyat Minangkabau dan berlangsung hampir 15 tahun lamanya.

Pada 28 Oktober 1837, Imam Bonjol ditangkap Belanda lewat akal bulus mereka berkedok perundingan. Setelah ditangkap, ia diasingkan ke Cianjur kemudian dipindahkan ke Manado. Di kota Lota Pineleng yang berjarak sembilan kilometer dari Manado, Tuanku Imam Bonjol akhirnya wafat di usia 92 tahun.

Figur Hadrami (arab dari Yaman) lain yang sangat ditakuti Belanda adalah Habib Abdurrahman az-Zahir. Ia akrab dipanggil Habib Itam atau Abdurrahman Teupian Wan dan diakui sebagai pemimpin tertinggi rakyat Aceh. Tokoh-tokoh yang bergerak di bawah titahnya adalah Engku Id, Tengku Abas, Tjot Rang, Imam Saidi dari Lambaro dan Tengku Soepi, putera Tengku di Langget yang masyhur.

Diilustrasikan oleh ahli sejarah bahwa pada waktu munculnya Habib Abdurrahman di tahun 1870, kesultanan Aceh kurang berfungsi karena sikap saling curiga di antara para hulubalang. Situasi ini tentu saja melemahkan kekuasaan sultan. Selaku tokoh agama, Habib Abdurrahman menghimbau rakyat agar loyal pada sultan sesuai kewajiban agama. Ia mengumpulkan uang dalam jumlah yang besar untuk usaha diplomatik dan perang. Hubungan sultan dengan hulubalang diislahkan kembali sehingga kekuatan militer menjadi kuat dan siap bertempur menghadapi Belanda.

Ada opini yang menyebutkan bahwa Habib Abdurrahman az-Zahir (Az-Zahir adalah cabang dari Shahab) hanya pemimpin bayangan. Pendapat ini dibantah keras oleh Snouck Hurgronje, peneliti dari Belanda. Berdasarkan fakta yang masih diingat para jenderal Belanda dan dicatat oleh Snouck, Habib Abdurrahman Az-Zahir adalah pemimpin rakyat Aceh. Selain Snouck, penulis Australia bernama Anthony Reid juga menulis ihwal Habib Abdurrahman az-Zahir ini.

Di Tanah Jawa, peran habaib dalam usaha perjuangan juga tidak sedikit. Salah satunya dibuktikan oleh Habib Salim bin Jindan, ulama besar yang lahir di Surabaya pada 18 Rajab 1324 H. Di mimbar-mimbarnya, Habib Salim senantiasa mengajak bangsa Indonesia untuk bangkit menentang penjajahan, baik Belanda mau pun Jepang. Ceramahnya mampu mengobarkan semangat juang sehingga tak heran bila penjajah menjadi resah. Habib Salim sempat ditangkap Jepang dan dijebloskan ke dalam penjara. Dalam tahanan, ia mendapat siksaan berat berupa pukulan, tendangan, bahkan ia kerap disetrum. Ia tabah menghadapi ujian itu sebab niatnya bukan hanya amar makruf nahi munkar, tapi memerdekakan tanah airnya juga. Cinta tanah air dalam pandangannya adalah bagian dari iman.

Keturunan Hadrami (arab dari Hadramaut Yaman) yang menjadi pelopor perjuangan di Jambi adalah Sayid Idrus bin Hasan al-Jufri. Sultan terakhir Jambi yang bergelar Pangeran Wirokusumo ini tidak diketahui tanggal lahirnya secara pasti. Dalam dokumen Belanda tercatat bahwa ia telah berumur 40 tahun pada tahun 1879. Dokumen ini juga menyebut wafatnya pada tahun 1905, meski tanda di makamnya menunjukkan tahun 1902.

Catatan arsip Belanda mengungkapkan bahwa Pangeran Wirokusumo memiliki kejeniusan dalam berlindung dari partai-partai yang kuat. Ketika Sultan Nazaruddin memegang kekuasaan, ia dipercaya menjadi wakil Sultan di ibukota. Sultan sendiri memilih tinggal jauh dari ibukota (kota Jambi) agar terhindar dari Belanda. Pada tahun 1875 Sultan Nazaruddin dan Pangeran Ratu (putra mahkota merangkap perdana menteri) menyerahkan kekuasaan kepada Pangeran Wirokusumo untuk mengatur dan mengurus seluruh urusan kerajaan.

Kediaman Sayid Idrus berada di sisi utara sungai Batanghari di Kota Jambi. Rumah ini didaftar sebagai cagar budaya serta referensi sejarah. Tanda di depan rumah menjadi nama situs, yakni Rumah Batu Olak Kemang. Pangeran Wirokusumo dimakamkan dekat kediamannya, di area Masjid Jamik Al-Ikhsaniyah yang ia bangun semasa hidupnya.

Tokoh keturunan Arab yang mengharumkan nama Indonesia di masa silam adalah Raden Shaleh Syarif Boestaman (1811- 1880). Pelukis kondang ini bernama asli Shaleh bin Husein bin Awad bin Yahya. Ia menaklukkan Eropa dengan kepiawaiannya melukis. Semasa kuliah di Belanda, ia diangkat sebagai pelukis istana oleh para bangsawan Jerman. Kemudian sewaktu tinggal di Maxem Jerman, ia mendirikan mushola bertuliskan basmalah dalam bahasa Jerman dan Jawa. Sementara di dekat kediamannya di Cikini, ia juga membangun sebuah surau (1860).

Ketika terjadi kerusuhan di Bekasi pada 1869 oleh kelompok Islam, Raden Shaleh dituduh turut mendalanginya. Kediamannya digeledah setelah dikepung 50 serdadu bersenjata lengkap. Pelukis ini meninggal di Bogor tahun 1880 dan dimakamkan di Jl. Bondongan (kini Jl Pahlawan) bersebelahan dengan makam istrinya, RA Danurejo, putri dari Keraton Kesultanan Mataram.

Ikatan Batin

Kegetolan orang-orang Arab Hadrami (arab dari Hadramaut Yaman) dalam ikut memerdekakan Indonesia bisa dimaklumi lantaran mereka sudah merasa bahwa negeri ini sebagai tanah air sendiri. Mereka sangat mencintai dan menghormati orang-orang pribumi seperti keluarga. Lihat saja, bagaimana mereka menyebut orang Indonesia sebagai “akhwal.” Dalam bahasa Arab, “akhwal” berasal dari kata “khal” yang berarti kakak atau adik laki-laki ibu. Bentuk muannats (feminin) dari kata ini adalah “khalah” berarti kakak atau adik perempuan ibu. Jikalau dijamakkan (bentuk plural), maka perkataan ini menjadi “akhwal” yang berarti seluruh kerabat anggota keluarga dari pihak ibu. Kata ini menandakan adanya hubungan kekeluargaan lewat ikatan perkawinan dan ada kalanya sebagai bentuk penghargaan. Bandingkan dengan Belanda yang menyebut pribumi sebagai inlander (bangsa kuli).

Orang-orang Hadrami (arab dari Hadramaut Yaman) telah menganggap Indonesia sebagai tanah air mereka sendiri dan menjadikan penduduk asli sebagai keluarga. Oleh karena itu, mereka menolak ketika Belanda hendak meningkatkan status orang-orang Arab, sebagai usaha untuk menjauhkan mereka dengan pribumi. Selain itu, diskriminasi seperti ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Allah SWT berfirman:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Salah satu proklamator Indonesia, Drs. Muhammad Hatta, mengakui kedekatan orang-orang Arab dengan pribumi. Dalam suratnya kepada A.R Baswedan (keturunan Hadrami) yang waktu itu usai mengikrarkan Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab, ia menulis, “Dengan sumpah ini, yang ditepati pula sejak itu dalam perjuangan nasional Indonesia menentang penjajahan sambil ikut dalam organisasi Gapi dan kemudian lagi ikut dalam peperangan kemerdekaan Indonesia dengan laskarnya, dengan memberikan kurban yang tidak sedikit, ternyata bahwa Pemuda Indonesia Keturunan Arab benar-benar berjuang untuk kemerdekaan bangsa dan tanah airnya yang baru.”

Kemudian Bung Hatta meneruskan tulisannya, “Sebab itu tidak benar apabila warga negara keturunan Arab disejajarkan dengan WNI turunan Cina. Dalam praktek hidup ini, kita alami juga banyak sekali WNI turunan Cina yang pergi dan memihak kepada bangsa aslinya RRC. WN Indonesia keturuan Arab boleh dikatakan tidak ada yang semacam itu. Indonesia sudah benar-benar menjadi tanah airnya.”

Pandangan sang proklamator senada dengan pendapat tokoh bangsa yang lain, Ki Hajar Dewantoro. Dalam sambutannya pada peringatan Hari Kesadaran Bangsa Indonesia Keturunan Arab ke-20 tahun 1954, tokoh pendidikan ini menegaskan bahwa golongan Arab tidak sama dengan golongan keturunan asing yang lain di Indonesia. Lantaran ikatan batin yang sangat kuat inilah Sukarno pernah mencegah Jepang yang waktu itu ingin menumpas orang-orang keturunan Arab. Menjelang kemerdekaan silam, sempat ada wacana dari pihak penjajah Jepang untuk melakukan pembasmian terhadap orang-orang keturunan Arab di Indonesia karena dianggap berbahaya bagi kelanggengan kekuasaan mereka. Sebelum wacana itu dilangsungkan, Jepang meminta pendapat kepada Sukarno. Dengan halus Sukarno menahan Jepang dengan alasan kala itu masih bulan puasa. Tak lama kemudian Jepang mengalami musibah besar di negerinya dengan jatuhnya bom atom di Nagasaki dan Hiroshima. Wacana keji itu pun akhirnya urung dilaksanakan.

Menurut Prof. Dr. Hamka, sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan Hasan dan Husain bin Ali bin Abi Thalib yang menginjakkan kaki di Indonesia. Mereka menyandang gelar syarif atau habib. Harus diakui jasa mereka dalam penyebaran Islam di tanah air sangat besar. Setidaknya ada lima kerajaan Nusantara yang didirikan oleh para habib ini, yakni: Pertama, Kerajaan Perlak di Aceh. Kerajaan ini didirikan pada tahun 225 H atau 840 M oleh Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syhah (keturunan ke-8 Baginda Rasul SAW). Kedua, Kerajaan Siak Riau sejak Sultan ke VII dipimpin oleh Sayid Usman bin Syihabuddin, lalu sultan Siak XII (terakhir) Sayid Syarif Qosim II mempercepat proses kemerdekaan dengan memasukkan kesultanan ke dalam NKRI. Ketiga, Kerajaan Kubu di Kalimantan yang didirikan oleh Syarif Idrus bin Abdurrahman al-Aydrus pada 1199 H atau 1778 M. Pada tahun 1958, Syarif Hasan bin Zein al-Aydrus selaku sultan terakhir memasukkan kesultanan ke dalam NKRI. Keempat, Kerajaan Pontianak yang didirikan 1194 H atau 1173 M oleh Syarif Abdurrahman Nur Alam bin Habib Husein al-Qadri. Pada tahun 1950, Sultan Hamid II al-Qadri bergabung dengan NKRI. Kelima, Kerajaan Banten yang didirikan tahun 1568 M oleh Sultan Hasanuddin atas perintah ayahnya, Sunan Gunung Jati.

Ukhuwah

Beberapa versi sejarah menyebutkan bahwa Wali Songo berasal dari Samarkand (Asia Tengah), Champa, Gujarat, atau tempat lainnya. Pendapat ini dibantah dalam seminar Sejarah Masuknya Islam di Indonesia yang berlangsung di Medan (1973). Seminar yang dihadiri para sejarawan dan pemuka agama ini menegaskan bahwa Islam telah berangsur datang ke Indonesia sejak abad pertama Hijriah (abad ketujuh Masehi) dibawa oleh para saudagar Islam yang berasal dari Arab, diikuti oleh orang Persia dan Gujarat. Pada masa itu perjalanan dari Arab ke Indonesia dengan kapal layar memerlukan waktu berbulan-bulan, bahkan lebih setahun. Mereka harus singgah di Gujarat terlebih dahulu yang kala itu merupakan bandar yang ramai. Jadi bisa disimpulkan bahwa Gujarat hanyalah tempat singgah sementara. Opini yang menyebutkan bahwa Wali Songo berasal dari Tionghoa terlalu mengada-ada dan tidak berdasar pada sumber ilmiah sama sekali.

L.W.C Van Den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset tahun 1884-1886 berkesimpulan dalam bukunya, Le Hadhramout et les colonies arabes dans l’archipel Indien (1886), “Ada pun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang sayid syarif. Dengan perantaraan mereka, agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Walau pun ada juga suku-suku lain di Hadramaut (yang bukan golongan sayid syarif), namun mereka ini tidak memberikan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum sayyid syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”

Pernyataan Van den Berg secara spesifik menyebut, abad ke-15 adalah abad kedatangan atau kelahiran sebagian besar Wali Songo di Pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari abad ke-18, yang merupakan gelombang kedatangan berikutnya, yakni orang-orang Hadrami yang bermarga As-segaf, Al-Habsyi, Al-Haddad, Alaydrus, Alatas, Al-Jufri, Bin Syihab, dan lainnya.

Demikianlah sejarah panjang meleburnya orang-orang Arab di Nusantara. Mereka sudah menyatu dengan penduduk asli sehingga melahirkan kebudayaan baru. Karena peleburan inilah, Islam di Indonesia sangat kokoh dan mengakar, tidak seperti di Eropa yang pada akhirnya hilang seolah tanpa jejak.

Akhir-akhir ini muncul upaya untuk memisahkan orang-orang Arab dengan pribumi. Upaya yang diprakarsai kelompok Liberal ini getol dihembuskan di media-media. Mereka membuat isitilah “Arabisasi” terhadap kedekatan kaum muslimin dengan para habib (habaib). Dalam beberapa pemberitaan, mereka kerap menyudutkan habaib dan memuji etnis lain yang notabene non muslim. Beruntung, kaum muslimin tidak mudah dihasut. Mereka sadar bahwa sesama muslim adalah saudara, apa pun status sosialnya. Mereka mesti saling menghormati dan menjadikan ukhuwah Islamiyah sebagai landasan utama…..

Comments

Popular posts from this blog

DIANJURKAN UNTUK MEMBACAKAN SURAH AL QODAR DI KEPALA BAYI.

Hukum Mengamalkan Wirid Atau Hizib Tanpa Ijazah (Sanad).

Habib Hasan bin Ahmad Baharun